Perkenankan saya (Ali Saukah) menulis kejadian yang saya alami yang saya kaitkan dengan salah satu topik pengajian, yaitu tawakkal. Entah cocok atau tidak, yang penting saya merasa bahwa topik “tawakkal” dalam pengajian tersebut banyak membantu upaya saya untuk menata hati dengan merujuk pada salah satu definisi “tawakkal” berikut:
“Kesungguhan hati dalam bersandar diri kepada Allah untuk memperoleh suatu manfaat dan menolak suatu bahaya, dalam urusan dunia dan akherat” (Ibnu Rajab).
Singkat cerita, suatu hari ada kegiatan Kemristekdikti (sebelum pisah kementerian) di Bandung sebagai penyaji dalam sebuah workshop, sore mulai pk 16 sd 18.00 yang sudah terjadwal lama. Pagi hari dalam perjalanan dari Malang ke Bandung ada telpun dari kampus yg memerintahkan saya untuk hadir dalam sebuah acara yang penting di kampus pada keesokan harinya.
Dalam perjalanan itu juga, tiket pesawat saya pulang harus dijdwal ulang menjadi malam hari itu juga (hari yang sama) pukul 22.00 rute Jakarta-Surabaya, persis setelah selesai kegiatan di Bandung pk 18.00. Ada waktu hanya 4 jam untuk mencapai Bandara Soehat dari titik jemputan di hotel yang berada di tengah kota Bandung.
Hampir saja tidak ada yang sanggup untuk dicarter dengan jadwal waktu seperti itu. Alhamdulillah akhirnya ada satu rental yang berani mengantar dengan spekulasi waktu kurang dari 4 jam untuk mencapai Bandara Soehat dari hotel. Ternyata pihak rental sanggup karena ada penumpang yang perlu dijemput dari Bandara Soehatt pada jam yang hampir bersamaan dengan jadwal pesawat saya untuk diantar ke Bandung.
Ada pilihan dalam menyikapi itu: minta sopir ngebut agar bisa tiba tepat waktu atau pasrah kepada Allah SWT sehingga tidak perlu minta sopir ngebut. Dalam hati saya berencana jika kemudian ternyata saya tertinggal pesawat, saya akan cari penginapan dekat bandara, dan urus tiket di Garuda untuk jadwalkan ulang tiket Garuda rute Jakarta-Surabaya. Jika ikhtiyar saya tidak berhasil menghadiri undangan keesokan harinya, saya sudah bisa menjelaskan bahwa saya sudah berusaha secara maksimal.
Dalam perjalanan dari hotel di Bandung menuju Bandara Soehatt, saya mencoba menata hati agar tidak perlu berkata apa-apa terhadap apapun yg terjadi dalam perjalanan sehingga tidak mengganggu konsentrasi sopir. Alhamdulillah, saya berhasil menata hati membiarkan sopir bersikap sesuai dengan nalurinya dalam menghadapi tantangan mengendarai mobil mengejar waktu untuk bisa tiba di Bandara sebelum jadwal penerbangan ke Surabaya. Tantangan dalam perjalanan memang berat, di beberapa titik terjadi kemacetan yang sangat mengkhawatirkan, sebagaimana yang diketahui secara umum perjalanan dari Bandung ke Jakarta bakda Maghrib, khususnya di ruas jalan toll menuju Bandara Soehatt. Tanpa ada kata yang terucap dari saya sehingga tampaknya sopir juga menjadi tenang dan nyaman dalam mengendarai mobil dalam kondisi penuh tentangan seperti.
Dalam perjalanan, saya merasa berhasil menata hati sehingga saya merasa tenang dan nyaman karena apapun yang terjadi pasti semua atas kehendak Allah SWT, yang jelas sudah ada bukti ikhtiyar saya jika misalnya saya gagal menghadiri acara di UM yang dianggap sangat penting itu. Buah dari tawakkal itu adalah rasa tenang serta nyaman, dan yang lebih penting lagi keberhasilan mencapai titip di Bandara Soehatt tepat waktu sebelum counter check-in Garuda ditutup.
Sesuai dengan definisi yang saya kutip sebelumnya, saya merasa memiliki kesungguhan hati dalam bersandar diri kepada Allah untuk memperoleh manfaat berupa tiba di Bandara Soehatt tepat waktu dan menolak suatu resiko berupa kegagalan memenuhi kewajiban menghadiri acara di UM, dalam urusan dunia berupa kewajiban memenuhi tugas pimpinan UM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar