PACARAN SEBAGAI MITOLOGI PERADABAN MODERN
Oleh : Taufaldo
Gallante
Seringkali pembaca
beraneka ragam dalam upaya mengerti bahwa opini saya ini terkesan sebagai
aturan yang Ideal, yang rupa-rupanya telah mengantarkan pembaca menjalankan
opini tersebut. Jadi yang didapat oleh pembaca ialah ia tidak tersugesti,
justru ia melihat itu adalah anjuran, terkhusus tulisan soal Mencintai dan
Intriknya ( 4 tulisan saya yang ada dalam Blog ini ). Tak mengapa, hal itu
didapat dan menjadi konsumsi, terlebih dianggap sebagai Doktrinase, sedang ini
sekadar opini pribadi, opini yang berangkat dari analisa secara pribadi.
Analisis pribadi saya ( terkhusus soal Mencintai ) saya angkat berdasarkan
pengalaman pribadi, pengalaman seorang kawan, serta atmosfer yang terjadi dalam
iklim masyarakat soal ini. Sehingga mampu menghasilkan tulisan berupa opini.
Menurut hemat saya, memang fakta yang terjadi seperti itu terkhusus soal konsep
pacaran yang sebenarnya sangat abstrak, compang-camping dan bersifat menindih. Kritik
itu telah disampaikan dalam tulisan Indonesia Tanpa Pacaran berupa opini.
Mari kita kembali
mendalami perilaku itu yang menjadi kebiasaan dan target keberhasilan, dimana
kini tengah terjadi pada peradaban ini. kita awali dahulu dari konsep pacaran,
sebelum mengarah kesana coba kita mempertanyakan itu sebenarnya pacaran itu ada
atau tidak ?. keberadaan konsep pacaran ini kita perlu pertanyakan, mengapa
demikian ? karena ia masih bersifat ghoib, bersifat nihil, serta bersifat
mengada-ada, meskipun kali ini kita tidak berbicara soal materialistik, dimana
itu kebiasaan jalannya suatu hubungan yang bernama pacaran. Konsep ini boleh
jadi terkesan relatif ada keberadaanya, sangat boleh jadi jika dianggap ada
maka ia termasuk sekumpulan yang merasakan nikmatnya menjalani suatu hubungan
yang dibungkus oleh status. Begitupun juga dengan sekumpulan yang mengatakan
tidak ada berdasarkan pandangan bahwa pacaran ini bersifat pengakuan, baik
pengakuan dari kedua yang berkaitan maupun public, namun public saja belum
tentu menerima status dari yang berkaitan.
Bersifat mengada-ada dan
terkesan menindih itulah intrik dari sebuah konsep pacaran. Kemenangan suatu
intrik dari usaha mencintai ialah hadirnya suatu status yang tentu menghasilkan
kepemilikan yang bersifat absolut. Coba kita amati lebih dalam status tersebut
memproduksi kepemilikan, nanti kepemilikan tersebut akan memproduksi hal baru
yakni aturan-aturan yang disepakati yang terkadang aturan tersebut bersifat
kuasa. Kepemilikan yang melahirkan kuasa itu tidak bisa hanya dibiarkan begitu
saja, tentu harus ada suatu Intrik baru untuk mempertahankan
Status-Kepemilikan-Kekuasaan. Dibutuhkannya intrik politik adalah melanggengkan
hal itu semua, namun tak banyak yang mengetahui bahwa terdapat penindasan
didalam sana, terkhusus penindasan hak asasi. Berangkat dari aturan-aturan yang
secara tidak sadar harus benar-benar disepakati, aturan tersebut menjadi aturan
kekuasaan dalam kepemilikan berdasarkan status yang ada.
Dalam menyandang status
pacaran pun kita tak luput seringkali melahirkan sihir-sihir baru, sihir
tersebut semata-mata untuk menjadikan rasa cinta kita semakin menjadi-jadi
untuk diakui oleh kekasih. Sihir tersebut pun mampu melakukan pemberdayaan
terhadap kekasih, tentu hal ini ialah salah satu bentuk hegemoni dan pencabulan
secara nyata terhadap akal sehat. Dituangkannya bumbu romantisme dan kebodohan
akan definisi cinta yang dangkal nan serampangan menjadikan hidangan
kelanggengan dalam suatu hubungan, dan sangat bodoh sekali menurut hemat saya
bagi yang mengkonsumsi hidangan tersebut. Sihir itu kita bisa sebut sebagai
sihir yang sangat buruk namun ampuh rupanya, indicator ampuh disini menurut
penulis ialah ampuh bagi kaum kaum yang seringkali menolak logika, menolak
kebijaksanaan, kaum kaum cuci nalar, dan millennial tuna pustaka. Mengapa
millennial ? karena kebanyakan yang mengkonsumsi sihir dan melakukan sihir
tersebut ialah sekumpulan anak muda yang merasa dirinya ialah kaum millennial.
Benar millennial, namun millennial yang sangat defisit pengetahuan dan akal sehat
yang serampangan.
Bagi mereka yang
menikmati sihir itu tentu mereka hanya menikmati dan memuji sebagai feedback
akan hadirnya sihir tersebut. Bagi penulis tentu tidak, sihir tersebut selain
mengarah kepada pemberdayaan yang terang-terangan, ia mampu menjadi mitos yang amat
perlu diakui, pasalnya mitos tersebut harus dipatahkan dengan sedemikian rupa.
kita akan mampu menemukan term pacaran sebagai mitologi apabila kita benar
benar memahami jika pacaran konsepnya sangat abstrak, dan mengada-ada, dan mitologi
dalam kasus pacaran ini mengatakan jika Intrik sebagai kesimpulan paling dasar. Melalui sihir sebagai pelengkap dari
Intrik, dan intrik sebagai hal yang diperlukan dalam mempertahankan kepemilikan
dan kekuasaan dalam status tersebut. Rupa-rupanya mitologi soal pacaran
benar-benar ada nan penuh arti/makna lain didalamnya. Mitos di era kerajaan
menurut Kuntowijoyo pun ialah semata-mata sebagai intrik mempertahankan suatu
kekuasaan.
Tulisan ini tentu sebagai
sindiran keras bagi mereka yang masih dangkal atau masih belajar memahami kata
Cinta, terbukti jika cinta yang tulus mereka tak lengkap dengan adanya status.
Pun demikian jika Cinta mereka tak ada status maka cintanya luntur dan tak
tuntas. Sehingga Cintanya sangat melahirkan nilai kegunaan yang bersifat
Transaksional. Tulisan ini sangat jelas hanya pandangan pribadi penulis untuk
melakukan Demitologi serta Dekontruksi terhadap Cinta dan Pacaran. Cintai lah
seseorang yang tulus tanpa pernah berharap untuk dicintai kembali, begitulah
pesan bijaksana dalam tulisan ini. Apalagi berujung memiliki status yang
menjadi indicator keberhasilan dari mencintai. Coba baca kembali Etika Akal
dalam Ruang Jatuh Hati, dan Indonesia Tanpa Pacaran. Satu hal lagi yang perlu
dipahami untuk penutup tulisan kali ini ialah pacaran ini sifatnya mengada-ada
dan pelaku seringkali meletakkan penindasan secara terang-terangan, dan korban
hanya bisa merasakan apabila status tersebut sudah tidak pantas dipertahankan,
lucunya lagi korban dan pelaku masih tetap terjerumus kedalam kasus yang sama.
Dalam lubang yang sama Korban akan menemukan pelaku lain, dan pelaku akan
bertemu dengan korban baru, dan itu menjadi siklus percintaan dalam peradaban
ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar