Pacaran Sebagai Mitologi Peradaban Modern - HMI Koordinator Komisariat Universitas Negeri Malang

HMI Koordinator Komisariat Universitas Negeri Malang

Website Resmi HMI Cabang Malang Koordinator Komisariat UM

Breaking

Selasa, 04 Mei 2021

Pacaran Sebagai Mitologi Peradaban Modern

 

PACARAN SEBAGAI MITOLOGI PERADABAN MODERN

Oleh : Taufaldo Gallante

Seringkali pembaca beraneka ragam dalam upaya mengerti bahwa opini saya ini terkesan sebagai aturan yang Ideal, yang rupa-rupanya telah mengantarkan pembaca menjalankan opini tersebut. Jadi yang didapat oleh pembaca ialah ia tidak tersugesti, justru ia melihat itu adalah anjuran, terkhusus tulisan soal Mencintai dan Intriknya ( 4 tulisan saya yang ada dalam Blog ini ). Tak mengapa, hal itu didapat dan menjadi konsumsi, terlebih dianggap sebagai Doktrinase, sedang ini sekadar opini pribadi, opini yang berangkat dari analisa secara pribadi. Analisis pribadi saya ( terkhusus soal Mencintai ) saya angkat berdasarkan pengalaman pribadi, pengalaman seorang kawan, serta atmosfer yang terjadi dalam iklim masyarakat soal ini. Sehingga mampu menghasilkan tulisan berupa opini. Menurut hemat saya, memang fakta yang terjadi seperti itu terkhusus soal konsep pacaran yang sebenarnya sangat abstrak, compang-camping dan bersifat menindih. Kritik itu telah disampaikan dalam tulisan Indonesia Tanpa Pacaran berupa opini.

Mari kita kembali mendalami perilaku itu yang menjadi kebiasaan dan target keberhasilan, dimana kini tengah terjadi pada peradaban ini. kita awali dahulu dari konsep pacaran, sebelum mengarah kesana coba kita mempertanyakan itu sebenarnya pacaran itu ada atau tidak ?. keberadaan konsep pacaran ini kita perlu pertanyakan, mengapa demikian ? karena ia masih bersifat ghoib, bersifat nihil, serta bersifat mengada-ada, meskipun kali ini kita tidak berbicara soal materialistik, dimana itu kebiasaan jalannya suatu hubungan yang bernama pacaran. Konsep ini boleh jadi terkesan relatif ada keberadaanya, sangat boleh jadi jika dianggap ada maka ia termasuk sekumpulan yang merasakan nikmatnya menjalani suatu hubungan yang dibungkus oleh status. Begitupun juga dengan sekumpulan yang mengatakan tidak ada berdasarkan pandangan bahwa pacaran ini bersifat pengakuan, baik pengakuan dari kedua yang berkaitan maupun public, namun public saja belum tentu menerima status dari yang berkaitan.

Bersifat mengada-ada dan terkesan menindih itulah intrik dari sebuah konsep pacaran. Kemenangan suatu intrik dari usaha mencintai ialah hadirnya suatu status yang tentu menghasilkan kepemilikan yang bersifat absolut. Coba kita amati lebih dalam status tersebut memproduksi kepemilikan, nanti kepemilikan tersebut akan memproduksi hal baru yakni aturan-aturan yang disepakati yang terkadang aturan tersebut bersifat kuasa. Kepemilikan yang melahirkan kuasa itu tidak bisa hanya dibiarkan begitu saja, tentu harus ada suatu Intrik baru untuk mempertahankan Status-Kepemilikan-Kekuasaan. Dibutuhkannya intrik politik adalah melanggengkan hal itu semua, namun tak banyak yang mengetahui bahwa terdapat penindasan didalam sana, terkhusus penindasan hak asasi. Berangkat dari aturan-aturan yang secara tidak sadar harus benar-benar disepakati, aturan tersebut menjadi aturan kekuasaan dalam kepemilikan berdasarkan status yang ada.

Dalam menyandang status pacaran pun kita tak luput seringkali melahirkan sihir-sihir baru, sihir tersebut semata-mata untuk menjadikan rasa cinta kita semakin menjadi-jadi untuk diakui oleh kekasih. Sihir tersebut pun mampu melakukan pemberdayaan terhadap kekasih, tentu hal ini ialah salah satu bentuk hegemoni dan pencabulan secara nyata terhadap akal sehat. Dituangkannya bumbu romantisme dan kebodohan akan definisi cinta yang dangkal nan serampangan menjadikan hidangan kelanggengan dalam suatu hubungan, dan sangat bodoh sekali menurut hemat saya bagi yang mengkonsumsi hidangan tersebut. Sihir itu kita bisa sebut sebagai sihir yang sangat buruk namun ampuh rupanya, indicator ampuh disini menurut penulis ialah ampuh bagi kaum kaum yang seringkali menolak logika, menolak kebijaksanaan, kaum kaum cuci nalar, dan millennial tuna pustaka. Mengapa millennial ? karena kebanyakan yang mengkonsumsi sihir dan melakukan sihir tersebut ialah sekumpulan anak muda yang merasa dirinya ialah kaum millennial. Benar millennial, namun millennial yang sangat defisit pengetahuan dan akal sehat yang serampangan.

Bagi mereka yang menikmati sihir itu tentu mereka hanya menikmati dan memuji sebagai feedback akan hadirnya sihir tersebut. Bagi penulis tentu tidak, sihir tersebut selain mengarah kepada pemberdayaan yang terang-terangan, ia mampu menjadi mitos yang amat perlu diakui, pasalnya mitos tersebut harus dipatahkan dengan sedemikian rupa. kita akan mampu menemukan term pacaran sebagai mitologi apabila kita benar benar memahami jika pacaran konsepnya sangat abstrak, dan mengada-ada, dan mitologi dalam kasus pacaran ini mengatakan jika Intrik sebagai  kesimpulan paling dasar. Melalui sihir sebagai pelengkap dari Intrik, dan intrik sebagai hal yang diperlukan dalam mempertahankan kepemilikan dan kekuasaan dalam status tersebut. Rupa-rupanya mitologi soal pacaran benar-benar ada nan penuh arti/makna lain didalamnya. Mitos di era kerajaan menurut Kuntowijoyo pun ialah semata-mata sebagai intrik mempertahankan suatu kekuasaan.

Tulisan ini tentu sebagai sindiran keras bagi mereka yang masih dangkal atau masih belajar memahami kata Cinta, terbukti jika cinta yang tulus mereka tak lengkap dengan adanya status. Pun demikian jika Cinta mereka tak ada status maka cintanya luntur dan tak tuntas. Sehingga Cintanya sangat melahirkan nilai kegunaan yang bersifat Transaksional. Tulisan ini sangat jelas hanya pandangan pribadi penulis untuk melakukan Demitologi serta Dekontruksi terhadap Cinta dan Pacaran. Cintai lah seseorang yang tulus tanpa pernah berharap untuk dicintai kembali, begitulah pesan bijaksana dalam tulisan ini. Apalagi berujung memiliki status yang menjadi indicator keberhasilan dari mencintai. Coba baca kembali Etika Akal dalam Ruang Jatuh Hati, dan Indonesia Tanpa Pacaran. Satu hal lagi yang perlu dipahami untuk penutup tulisan kali ini ialah pacaran ini sifatnya mengada-ada dan pelaku seringkali meletakkan penindasan secara terang-terangan, dan korban hanya bisa merasakan apabila status tersebut sudah tidak pantas dipertahankan, lucunya lagi korban dan pelaku masih tetap terjerumus kedalam kasus yang sama. Dalam lubang yang sama Korban akan menemukan pelaku lain, dan pelaku akan bertemu dengan korban baru, dan itu menjadi siklus percintaan dalam peradaban ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar